Normal Mode
Responsive Mode

Harap Tunggu Proses Memuat Konten Halaman


Sabtu, 16 Juni 2012


Ujian Nasional (UN) 2012 telah berlalu. Hiruk-pikuk yang berkaitan dengan gawe  tahunan Kemendikbud itu telah mulai surut pula. Hal menarik dari sebagian hiruk-pikuk UN tahun ini adalah opini redaksi Padang Ekspres yang dituangkan di dalam  Tajuk Rencana terbitan 30 Mei 2012 yang lalu dengan judul “Tragedi Bahasa Indonesia dalam UN.” Pertanyaan besar  diajukan oleh redaksi, “Kenapa bahasa Indonesia harus dipersulit sehingga terkesan bahasa Inggris menggusur bahasa Indonesia?” Pertanyaan ini multidimensi makna. Satu di antara makna yang dapat ditangkap dari pertanyaan semacam itu adalah bahasa Indonesia itu sesungguhnya mudah. Jika siswa memeroleh nilai rendah Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada UN, yang salah bukan siswa melainkan penyusun soal. Soal-soal bahasa Indonesia seolah-olah sengaja disusun serumit mungkin agar siswa tidak dapat menjawabnya. Berbeda dengan soal-soal bahasa Inggris. Tajuk rencana ini juga dilengkapi dengan pembahasan tentang perilaku masyarakat pengguna bahasa Indonesia ketika bertutur atau menulis. Masyarakat terdidik sekalipun ketika menulis masih belum dapat membedakan penggunaan di- dan ke- sebagai awalan (imbuhan) dengan di dan ke sebagai kata depan. Pada akhir tulisan redaksi menyampaikan panda­ngan, “Biarlah anak bangsa menguasai ba­hasa asing, pasti berguna. Bukan ha­nya bahasa Inggris, namun bisa pula Man­darin, Jepang, Jerman, Perancis, ter­masuk bahasa Arab.” Jika redaksi ber­maksud menyindir, pernyataan itu ber­manfaat untuk penyadaran bagai­mana seharusnya masyarakat bersikap terhadap bahasa Indonesia. Persoa­lannya akan jadi lain jika pernyataan pada tajuk rencana  itu adalah pernya­taan lugas. Apa yang disikapi redaksi menjadi cerminan sikap masyara­kat terhadap bahasa Indonesia, yaitu sikap standar ganda. Satu sisi masyarakat menganggap bahasa Indonesia pen­ting, tetapi pada praktiknya masyarakat mele­cehkan bahasa nasional sekaligus bahasa resmi negaranya.

Marilah menoleh sejenak pada kondisi sosial masyarakat kita akhir-akhir ini. Ketika agama tidak mampu menyatukan masyarakat melainkan memunculkan konflik bahkan bagi pemeluk agama yang sama, ketika ideologi dan jargon politik semakin mengkotak-kotakkan masyarakat, jus­tru bahasa Indonesia tampil sebagai pemersatu. Bahasa Indonesialah kini satu-satunya aset bangsa yang telah memperlihatkan jati dirinya sebagai alat pemersatu bangsa. Aset ini sela­yaknya bukan saja harusnya dibang­gakan melainkan harus terus dibina dan dikembangkan. Bangsa Indonesia harus  memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terha­dap bahasa Indonesia adalah sikap bangga menggu­nakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Persoalannya, sikap positif terhadap bahasa Indonesia itu  yang kini dapat disaksikan dari perilaku masya­rakatnya tampaknya masih jauh pang­gang daripada api. Pada satu sisi masya­rakat beranggapan bahasa Indonesia memang benar penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berkebangsaan Indonesia, tetapi pada sisi lain masyarakat terus mele­cehkan bahasa Indonesia, lalu memuja bahasa asing yang dianggap lebih modern dan penting. Sikap sema­cam ini adalah sikap standar ganda.

Berdasarkan berbagai kebijakan dan regulasi, pemerintah secara tegas memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah hal yang penting dan utama. Dalam setiap seleksi peneri­maan pega­wai negeri, TNI, Polri, pegawai swasta, penerimaan maha­siswa baru, peneri­maan siswa baru, mata ujian bahasa Indonesia termasuk bagian yang harus diujikan. Tidak sah seleksi penerimaan jika bahasa Indonesia belum dima­sukkan sebagai mata ujian. Persoa­lan­nya, ketika menen­tukan kelulusan, nilai bahasa Indonesia tidaklah menjadi pertimbangan utama. Maksudnya, jika calon memiliki nilai mata ujian lain bagus tetapi nilai bahasa Indonesia rendah, maka nilai bahasa Indonesia dapat dikatrol. Lantas luluslah calon tersebut setelah nilai bahasa Indo­nesianya dinaikkan mencapai ambang batas nilai lulus. Panitia penerimaan pegawai, maha­siswa, dan siswa baru itu sesungguhnya telah bersikap standar ganda terhadap bahasa Indonesia.

Di sekolah-sekolah, standar ganda terhadap bahasa Indonesia dilakukan oleh para guru, kepala sekolah, wali kelas, termasuk guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran penting dan utama di seluruh jenjang pendi­dikan. Jika nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tidak mencapai batas kelulu­san minimal, siswa tidak dapat naik kelas. Itu konsep, berbeda pada waktu prak­tik­nya. Di dalam rapat penentuan ke­naikan kelas, guru dan wali kelas dapat bersitegang urat leher mem­pertahankan agar nilai mata pelajaran sains dan matematika menjadi tolok ukur. Nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia boleh saja diubah agar siswa naik kelas. Pengubahan nilai Mata Pelajaran Baha­sa Indonesia dianggap oleh mereka tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi perkembangan anak ke depan. Pada saat keputusan pengu­bahan nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia diambil, anehnya ada juga guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia ikut  menyetujui kebijakan tersebut. “Biarlah nilai bahasa Indo­nesianya dinaikkan, kasihan kalau siswa tinggal kelas hanya karena nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesianya yang rendah,” begitu kira-kira ucapan hati guru kita itu.

Di media massa demikian juga. Mo­hon maaf, sekadar contoh, motto surat kabar dapat berbunyi “Men­cerdaskan ke­hidupan Bangsa” tetapi dewan re­daksi tampak tidak peduli bagaimana wartawannya menggu­nakan bahasa Indonesia di dalam menulis berita. Jika wartawan tidak cerdas menggunakan bahasa, maksud yang ingin diko­muni­kasikan surat kabar tentu tidak akan pernah tercapai. Bagaimana bangsa akan menjadi cer­das membaca surat ka­bar itu, warta­wannya saja tidak cerdas di dalam berbahasa. Pimpinan media cetak yang membiarkan wartawannya menulis de­ngan bahasa Indonesia yang tidak terjaga,  tidak melakukan pem­binaan berbahasa Indonesia wartawan­nya, berarti  bersikap standar ganda pula terhadap bahasa Indonesia.  Pada media massa radio, demi­kian juga halnya. Banyak penyiar, khusus­nya penyiar radio swasta, meng­gunakan bahasa Indonesia dengan polanya sendiri ketika  mengudara. Tidak sedikit penyiar yang secara bersamaan meng­gunakan seka­li­gus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris  dalam siaran agar dinilai cerdas (mungkin) oleh pende­ngar­nya. Sesung­guhnya penyiar yang se­macam itu melupakan salah satu fungsi media massa sebagai corong utama untuk menumbuhkan sikap positif masya­rakat terhadap bahasa Indonesia.

Pada suatu kesempatan seminar internasional “Bahasa Melayu Bahasa Dunia” yang diselenggarakan Peme­rintah Kerajaan Malaysia, pada September 2009 di Johor Bahru, seorang pemakalah dari Negara Singapura menyampaikan kekagumannya terha­dap bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional dan bahasa resmi, yaitu bahasa Indonesia yang dipergu­nakan di dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut pemakalah dari negeri jiran kita itu, bahasa Indonesia adalah bahasa modern. Bahasa modern adalah bahasa yang mampu dipergunakan bukan hanya sebagai alat komunikasi, melain­kan sebagai sistem komunikasi. Bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai bahasa yang dapat diper­gunakan untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Dapat dipergunakan untuk menjelaskan persoalan sains dan perkembangan teknologi yang paling mutakhir sekalipun. Berbagai hal tentang hasil penelitian teknologi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan  ditulis oleh pakar Indonesia dalam bahasa Indonesia. Hasil tulisan itu bahkan dijadikan acuan dan pedoman di beberapa negara. Orang Singapura, lebih lanjut pemakalah itu menyam­paikan, yang sejak lahir telah berbahasa Inggris sama sekali belum mampu menyaingi kepakaran orang-orang Indonesia walaupun mereka menguasai bahasa Inggris. Satu hal lagi, pema­kalah dari Negara Singapura itu me­nyam­paikan bahwa orang Singapura, sebagaimana orang India tak punya kebanggaan dan identitas bangsa karena bahasa nasional mereka adalah bahasa Inggris, bahasa bangsa lain.

Kembali kita pada kasus UN tahun 2012 tentang pemerolehan nilai rendah  Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Sebagaimana judul Tajuk Rencana Padang Ekspres, rendahnya nilai Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah tragedi. Rendahnya nilai tersebut  harus kita sadari bukan hanya disebab­kan karena siswa tidak mampu menja­wab soal, melainkan disebabkan sikap dan praktik standar ganda kita semua terhadap bahasa Indonesia yang telah kita lakukan selama ini, termasuk para siswa. Jika sikap semacam ini masih terus dipertahankan, maka dari tahun ke tahun persoalan rendahnya nilai Mata Pelajaraan Bahasa Indonesia UN akan tetap sama. Harus ada penya­daran yang sungguh-sungguh segenap bangsa Indonesia bahwa satu anugrah di sam­ping anugrah kekayaan alam yang tak ter­hingga dari Tuhan untuk bangsa Indo­nesia adalah bahasa Indonesia. Hen­tikan  sikap standar ganda terhadap ba­hasa Indonesia. Mari terus kita bina dan kembangkan bahasa nasional dan  seka­ligus jati diri bangsa kita. Semoga. (*)

Oleh : Hasanuddin WS
Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Padang


Perihal: Diterbitkan oleh: pada pukul 02.23 WIB

Baca Pula Artikel Terkait Dalam Kategori: .

Klik tombol "Like" bila Anda suka dengan artikel ini. Silakan poskan komentar agar saya dapat berkunjung balik ke blog Anda. Jika Anda ingin membaca artikel lain dari blog ini, maka silakan klik di sini untuk membuka daftar isi. Harap menyertakan http://interthinkingwords.blogspot.com/2012/06/un-dan-standar-ganda-bahasa-indonesia.html dan atau mencantumkan tautan untuk artikel ini bila Anda menyalin sebagian dan atau keseluruhan isinya. Terimakasih.

Posting Komentar