Ujian Nasional (UN) 2012 telah berlalu. Hiruk-pikuk yang berkaitan dengan gawe tahunan Kemendikbud itu telah mulai surut pula. Hal menarik dari sebagian hiruk-pikuk UN tahun ini adalah opini redaksi Padang Ekspres yang dituangkan di dalam Tajuk Rencana terbitan 30 Mei 2012 yang lalu dengan judul “Tragedi Bahasa Indonesia dalam UN.” Pertanyaan besar diajukan oleh redaksi, “Kenapa bahasa Indonesia harus dipersulit sehingga terkesan bahasa Inggris menggusur bahasa Indonesia?” Pertanyaan ini multidimensi makna. Satu di antara makna yang dapat ditangkap dari pertanyaan semacam itu adalah bahasa Indonesia itu sesungguhnya mudah. Jika siswa memeroleh nilai rendah Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada UN, yang salah bukan siswa melainkan penyusun soal. Soal-soal bahasa Indonesia seolah-olah sengaja disusun serumit mungkin agar siswa tidak dapat menjawabnya. Berbeda dengan soal-soal bahasa Inggris. Tajuk rencana ini juga dilengkapi dengan pembahasan tentang perilaku masyarakat pengguna bahasa Indonesia ketika bertutur atau menulis. Masyarakat terdidik sekalipun ketika menulis masih belum dapat membedakan penggunaan di- dan ke- sebagai awalan (imbuhan) dengan di dan ke sebagai kata depan. Pada akhir tulisan redaksi menyampaikan pandangan, “Biarlah anak bangsa menguasai bahasa asing, pasti berguna. Bukan hanya bahasa Inggris, namun bisa pula Mandarin, Jepang, Jerman, Perancis, termasuk bahasa Arab.” Jika redaksi bermaksud menyindir, pernyataan itu bermanfaat untuk penyadaran bagaimana seharusnya masyarakat bersikap terhadap bahasa Indonesia. Persoalannya akan jadi lain jika pernyataan pada tajuk rencana itu adalah pernyataan lugas. Apa yang disikapi redaksi menjadi cerminan sikap masyarakat terhadap bahasa Indonesia, yaitu sikap standar ganda. Satu sisi masyarakat menganggap bahasa Indonesia penting, tetapi pada praktiknya masyarakat melecehkan bahasa nasional sekaligus bahasa resmi negaranya.
Marilah menoleh sejenak pada kondisi sosial masyarakat kita akhir-akhir ini. Ketika agama tidak mampu menyatukan masyarakat melainkan memunculkan konflik bahkan bagi pemeluk agama yang sama, ketika ideologi dan jargon politik semakin mengkotak-kotakkan masyarakat, justru bahasa Indonesia tampil sebagai pemersatu. Bahasa Indonesialah kini satu-satunya aset bangsa yang telah memperlihatkan jati dirinya sebagai alat pemersatu bangsa. Aset ini selayaknya bukan saja harusnya dibanggakan melainkan harus terus dibina dan dikembangkan. Bangsa Indonesia harus memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia adalah sikap bangga menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Persoalannya, sikap positif terhadap bahasa Indonesia itu yang kini dapat disaksikan dari perilaku masyarakatnya tampaknya masih jauh panggang daripada api. Pada satu sisi masyarakat beranggapan bahasa Indonesia memang benar penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berkebangsaan Indonesia, tetapi pada sisi lain masyarakat terus melecehkan bahasa Indonesia, lalu memuja bahasa asing yang dianggap lebih modern dan penting. Sikap semacam ini adalah sikap standar ganda.
Berdasarkan berbagai kebijakan dan regulasi, pemerintah secara tegas memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah hal yang penting dan utama. Dalam setiap seleksi penerimaan pegawai negeri, TNI, Polri, pegawai swasta, penerimaan mahasiswa baru, penerimaan siswa baru, mata ujian bahasa Indonesia termasuk bagian yang harus diujikan. Tidak sah seleksi penerimaan jika bahasa Indonesia belum dimasukkan sebagai mata ujian. Persoalannya, ketika menentukan kelulusan, nilai bahasa Indonesia tidaklah menjadi pertimbangan utama. Maksudnya, jika calon memiliki nilai mata ujian lain bagus tetapi nilai bahasa Indonesia rendah, maka nilai bahasa Indonesia dapat dikatrol. Lantas luluslah calon tersebut setelah nilai bahasa Indonesianya dinaikkan mencapai ambang batas nilai lulus. Panitia penerimaan pegawai, mahasiswa, dan siswa baru itu sesungguhnya telah bersikap standar ganda terhadap bahasa Indonesia.
Di sekolah-sekolah, standar ganda terhadap bahasa Indonesia dilakukan oleh para guru, kepala sekolah, wali kelas, termasuk guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran penting dan utama di seluruh jenjang pendidikan. Jika nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tidak mencapai batas kelulusan minimal, siswa tidak dapat naik kelas. Itu konsep, berbeda pada waktu praktiknya. Di dalam rapat penentuan kenaikan kelas, guru dan wali kelas dapat bersitegang urat leher mempertahankan agar nilai mata pelajaran sains dan matematika menjadi tolok ukur. Nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia boleh saja diubah agar siswa naik kelas. Pengubahan nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dianggap oleh mereka tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi perkembangan anak ke depan. Pada saat keputusan pengubahan nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia diambil, anehnya ada juga guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia ikut menyetujui kebijakan tersebut. “Biarlah nilai bahasa Indonesianya dinaikkan, kasihan kalau siswa tinggal kelas hanya karena nilai Mata Pelajaran Bahasa Indonesianya yang rendah,” begitu kira-kira ucapan hati guru kita itu.
Di media massa demikian juga. Mohon maaf, sekadar contoh, motto surat kabar dapat berbunyi “Mencerdaskan kehidupan Bangsa” tetapi dewan redaksi tampak tidak peduli bagaimana wartawannya menggunakan bahasa Indonesia di dalam menulis berita. Jika wartawan tidak cerdas menggunakan bahasa, maksud yang ingin dikomunikasikan surat kabar tentu tidak akan pernah tercapai. Bagaimana bangsa akan menjadi cerdas membaca surat kabar itu, wartawannya saja tidak cerdas di dalam berbahasa. Pimpinan media cetak yang membiarkan wartawannya menulis dengan bahasa Indonesia yang tidak terjaga, tidak melakukan pembinaan berbahasa Indonesia wartawannya, berarti bersikap standar ganda pula terhadap bahasa Indonesia. Pada media massa radio, demikian juga halnya. Banyak penyiar, khususnya penyiar radio swasta, menggunakan bahasa Indonesia dengan polanya sendiri ketika mengudara. Tidak sedikit penyiar yang secara bersamaan menggunakan sekaligus bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam siaran agar dinilai cerdas (mungkin) oleh pendengarnya. Sesungguhnya penyiar yang semacam itu melupakan salah satu fungsi media massa sebagai corong utama untuk menumbuhkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia.
Pada suatu kesempatan seminar internasional “Bahasa Melayu Bahasa Dunia” yang diselenggarakan Pemerintah Kerajaan Malaysia, pada September 2009 di Johor Bahru, seorang pemakalah dari Negara Singapura menyampaikan kekagumannya terhadap bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional dan bahasa resmi, yaitu bahasa Indonesia yang dipergunakan di dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut pemakalah dari negeri jiran kita itu, bahasa Indonesia adalah bahasa modern. Bahasa modern adalah bahasa yang mampu dipergunakan bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai sistem komunikasi. Bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai bahasa yang dapat dipergunakan untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Dapat dipergunakan untuk menjelaskan persoalan sains dan perkembangan teknologi yang paling mutakhir sekalipun. Berbagai hal tentang hasil penelitian teknologi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ditulis oleh pakar Indonesia dalam bahasa Indonesia. Hasil tulisan itu bahkan dijadikan acuan dan pedoman di beberapa negara. Orang Singapura, lebih lanjut pemakalah itu menyampaikan, yang sejak lahir telah berbahasa Inggris sama sekali belum mampu menyaingi kepakaran orang-orang Indonesia walaupun mereka menguasai bahasa Inggris. Satu hal lagi, pemakalah dari Negara Singapura itu menyampaikan bahwa orang Singapura, sebagaimana orang India tak punya kebanggaan dan identitas bangsa karena bahasa nasional mereka adalah bahasa Inggris, bahasa bangsa lain.
Kembali kita pada kasus UN tahun 2012 tentang pemerolehan nilai rendah Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Sebagaimana judul Tajuk Rencana Padang Ekspres, rendahnya nilai Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah tragedi. Rendahnya nilai tersebut harus kita sadari bukan hanya disebabkan karena siswa tidak mampu menjawab soal, melainkan disebabkan sikap dan praktik standar ganda kita semua terhadap bahasa Indonesia yang telah kita lakukan selama ini, termasuk para siswa. Jika sikap semacam ini masih terus dipertahankan, maka dari tahun ke tahun persoalan rendahnya nilai Mata Pelajaraan Bahasa Indonesia UN akan tetap sama. Harus ada penyadaran yang sungguh-sungguh segenap bangsa Indonesia bahwa satu anugrah di samping anugrah kekayaan alam yang tak terhingga dari Tuhan untuk bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Hentikan sikap standar ganda terhadap bahasa Indonesia. Mari terus kita bina dan kembangkan bahasa nasional dan sekaligus jati diri bangsa kita. Semoga. (*)
Oleh : Hasanuddin WS
Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Padang
Posting Komentar